Home Blog Hukum Hukum Pajak Fungsi Meterai Dalam Perjanjian
Hukum Hukum Pajak Hukum Perdata

Fungsi Meterai Dalam Perjanjian

Fungsi Meterai Dalam Perjanjian

Fungsi Meterai Dalam Perjanjian

Hingga saat artikel ini ditulis, masih banyak orang mempertanyakan keabsahan dokumen perjanjian tanpa meterai. Jawaban singkat dari orang yang mempertanyakan hal itu adalah, perjanjian tetap sah dan mengikat para pihak, meskipun tanpa ada meterai. Pada artikel sebelumnya, kami sudah menerangkan syarat sah suatu perjanjian. Sehingga untuk menentukan suatu perjanjian sah atau tidak adalah dengan mendasarkan pada syarat tersebut. Kemudian, apa fungsi meterai dalam perjanjian?

Apakah Meterai Itu?

Dasar hukum penggunaan meterai diatur melalui Undang-Undang Nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Materai (UU Bea Meterai). Dari undang-undang tersebut, juga telah dikeluarkan peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 134/PMK.03/2021 (PMK 134).

Berdasarkan Pasal 1 butir 4 UU 10/2020, meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas dokumen.

Dari definisi tersebut, sudah cukup jelas bahwa meterai adalah suatu label atau tanda yang menunjukkan pembayaran pajak atas dokumen, atau disebut juga sebagai bea meterai.

Obyek Bea Meterai

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Bea Meterai, obyek bea meterai terdiri dari:

  1. Dokumen yang menunjukkan kejadian yang bersifat perdata.
  2. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Selanjutnya, pada ayat (2) dirincikan bahwa dokumen-dokumen yang menjukkan kejadian bersifat perdata adalah:

  1. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
  2. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
  3. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
  4. Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  5. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  6. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang,
  7. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang: (i) menyebutkan penerimaan uang; atau (ii) berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; dan
  8. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Tarif Bea Meterai

Bea meterai yang berlaku mulai 1 januari 2021,sesuai ketentuan UU Bea Meterai adalah Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

Siapa yang Berkewajiban Membayar Bea Meterai?

Pihak terutang atau yang berkewajiban untuk membayar bea meterai adalah orang, termasuk individu dan badan yang terikat dalam dokumen yang menjadi obyek bea meterai. Dalam perjanjian, bisa terdapat dua atau lebih pihak, siapa yang berkewajiban membayar? Jawabannya adalah semua pihak yang menerima dokumen asli perjanjian tersebut.

Tata Cara Pembubuhan Meterai

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) PMK 134, Pembubuhan Meterai Tempel dilakukan dengan ketentuan:

  1. Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di tempat Tanda Tangan akan dibubuhkan; dan
  2. Tanda Tangan dibubuhkan sebagian di atas kertas dan sebagian di atas Meterai Tempel disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya penandatanganan.

Berbeda dengan meterai tempel, dimana tanda tangan harus dibubuhkan sebagaian di atas meterai tempel, dalam penggunaan meterai elektronik tidak seperti itu. Meterai elektronik berupa barcode, sehingga tidak disarankan untuk ditempelkan pada bagian tandatangan, karena berpotensi menyebabkan barcode tidak terbaca. Dengan demikian, menjadi tidak relevan apakah harus ditandatangani terlebih dahulu atau dibubuhkan meterai elektronik sebelumnya.

Bagaimana Jika Dokumen Lama Belum Ditempeli Meterai?

Apabila terdapat perjanjian atau dokumen lain dan merupakan obyek bea meterai yang belum ditempeli meterai, maka dokumen tersebut dikatakan tidak atau kurang dilunasi bea meterainya.

Sebagai akibatnya, pihak terutang  akan diwajibkan untuk membayar bea meterai tersebut, ditambahkan denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea meterai yang belum dibayarkan.

Cara membayarkan bea meterai tersebut adalah melalui Pemeteraian Kemudian. 

Apakah dapat dilakukan secara mandiri? Berdasarkan Pasal 22 (1) PMK 134, Pemeteraian Kemudian disahkan oleh:

  1. Pejabat Pos; atau
  2. Pejabat Pengawas.

Artinya, pemeteraian kemudian tidak bisa dilakukan secara mandiri.

Secara aktual, kami yakin bahwa begitu banyak pihak yang tidak menjalankan ketentuan ini. Tidak jarang juga dengan sengaja tidak melakukan pemeteraian kemudian, khususnya untuk dokumen-dokumen perjanjian yang dibuat secara backdated.

Kesimpulan: Fungsi Meterai dalam Perjanjian

Dari pembahasan di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa:

  1. Bea Meterai merupakan pajak atas dokumen
  2. Surat Perjanjian merupakan salah satu obyek bea meterai
  3. Meterai merupakan label yang digunakan untuk membayar bea meterai.

Dari kesimpulan itu, kita tahu bahwa perjanjian, di mata hukum tetap sah meskipun tanpa adanya meterai. Namun, apabila tanpa dibubuhkan meterai, maka para pihak yang mengadakan perjanjian akan menjadi pihak terutang dan diwajibkan untuk membayar bea meterai ditambah sanksi administrasi berupa denda.

***

Demikian pembahasan mengenai fungsi meterai di dalam Perjanjian. Semoga artikel ini bermanfaat.

Subscribe
Notify of
guest
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Exit mobile version