
Struktur Perjanjian, Apa Saja?
August 1, 2022
NIK menjadi NPWP, Bagaimana Caranya?
August 3, 2022Pada artikel sebelumnya kita membahas bahwa ada asas “kebebasan berkontrak”. Namun menurut hukum, ada syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian dinyatakan sah. Sehingga, bebas yang dimaksud adalah menentukan bentuknya dan tidak berada di bawah paksaan.
Definisi Perjanjian
Sebelum kita membahas lebih jauh, mari kita membahas definisi dari perjanjian atau persetujuan.
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Dalam praktiknya, perjanjian tidak terbatas hanya dua orang saja, bisa diadakan oleh lebih dari dua orang. Kata “orang” dalam definisi tersebut, bukan terbatas pada orang pribadi saja, tetapi ada orang-orang atau perkumpulan orang. Secara tegasnya, kita sebut sebagai subyek hukum perdata.
Subyek hukum perdata terbagi dua, yaitu orang pribadi dan perkumpulan orang/ badan.
Ketika terdapat dua orang ataupun badan yang setuju untuk membuat perjanjian, maka mereka akan saling terikat satu sama lain, untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal. Sehingga, dalam hukum juga disebutkan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber Perikatan.
Syarat Sah Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, Perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi empat syarat berikut:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu pokok persoalan tertentu; dan
- Suatu sebab yang tidak terlarang.
Selanjutnya, mari kita bahas satu persatu.
Kesepakatan Mereka yang Mengikatkan Dirinya
Syarat yang pertama adalah, harus ada kesepakatan diantara mereka yang mengikatkan diri. Untuk mempermudah, kita sebut sebagai Para Pihak.
Dalam hal ini, Para Pihak harus memiliki kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri. Adapun makna dari bebas adalah lepas dari kekhilafan, paksaan, dan penipuan. Apabila terdapat unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan, maka syarat sah perjanjian yang pertama ini bisa dikatakan tidak terpenuhi.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 1321 KUH Perdata, yang menerangkan bahwa tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Kita contohkan, ada si A hendak membeli barang dari B. Jual-beli tersebut akan dituangkan dalam suatu perjanjian. Secara lisan, disepakati bahwa A akan membeli 2 unit barang dengan harga total Rp 1.000.000,-. Namun, pada saat ditandatangani, ternyata di dalam perjanjian hanya menuliskan pembelian 1 unit barang saja, dengan harga total tetap Rp 1.000.000,-. Hal ini terjadi karena ketika diberi draft Perjanjian, tidak semua halaman diberikan oleh B kepada A. Yang diberikan hanyalah halaman terdepan dan bagian tandatangan saja. Artinya, terdapat unsur penipuan disini, yang menjadikan perjanjian tersebut tidak sah.
Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan
Pasal 1329 KUH Perdata menerangkan bahwa tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali ia dinyatakan tidak cakap. Dalam artikel yang membahas tentang Struktur Perjanjian telah kita bahas orang seperti apa yang dinyatakan cakap hukum, yaitu:
- Orang yang sudah dewasa― Menurut Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, orang yang dewasa adalah yang telah genap berusia 21 (dua puluh satu) tahun ke atas.
- Tidak sedang di dalam pengampuan ― Menurut Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, orang yang dapat ditaruh di bawah pengampuan adalah orang yang tidak sehat jiwanya, karena sifatnya (boros, penjudi, dll), pada intinya tidak dapat menggunakan akal-nya secara benar;
- Orang yang tidak dilarang Oleh Hukum ― Contohnya, untuk badan usaha berbadan hukum berbentuk PT, maka yang berhak mewakili adalah Direktur. Selain itu, apabila tanpa adari Kuasa Direktur, tidak berhak dan tidak sah untuk mewakili PT tersebut. Dalam hal badan usaha berbentu CV, yang berhak mewakili adalah Sekutu Aktif-nya.
Suatu Pokok Persoalan Tertentu
Suatu pokok persoalan tertentu berarti, di dalam perjanjian tersebut harus ditentukan obyeknya. Hal ini seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, yang menerangkan bahwa suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Sebagai contohnya, perjanjian jual-beli kendaraan. Harus ditentukan apa jenis kendaraan tersebut, berapa jumlahnya, spesifikasinya, merek dan harganya. Hal ini bertujuan agar Para Pihak tidak menafsirkan berdasarkan pemahaman masing-masing.
Selain ditentukan jenisnya, Pasal 1332 KUH Perdata juga menerangkan bahwa hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan. Artinya, tidak dibenarkan memperjanjian suatu barang yang tidak ada nilainya.
Suatu Sebab yang Tidak Terlarang
Arti dari syarat keempat ini, tentu sudah cukup jelas. Para Pihak dilarang untuk mengadakan perjanjian atas suatu hal, pekerjaa, atau barang yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum.
Hal tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata yang menerangkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
Contohnya, narkoba berdasarkan ketentuan di peraturan perundang-undangan, dalam jumlah terbatas hanya boleh digunakan untuk tujuan medis dan penelitian. Sehingga, apabila ada perjanjian jual-beli narkoba untuk tujuan lain, itu sudah jelas tidak sah.
Dampak Tak Terpenuhinya Syarat Sah Perjanjian
Keempat syarat tersebut di atas pada dasarnya dapat kita kelompokkan menjadi dua bagian. yaitu:
Syarat Subyektif Perjanjian
Syarat subyektif merupakan syarat sah-nya suatu perjanjian yang berhubungan dengan subyek hukum yang mengadakan perjanjian, diantaranya:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; dan
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Dampak apabila syarat subyektif tidak terpenuhi adalah, perjanjian tersebut dinyatakan “Dapat Dibatalkan“. Artinya, sepanjang tidak ada permohonan pembatalan perjanjian dari Para Pihak, perjanjian itu tetap dapat dijalankan. Pembatalan perjanjian dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. Atas kesepakatan Para Pihak
Apabila Para Pihak sepakat, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sebagai bukti pembatalan, dapat dibuatkan kesepakatan baru yang berisi sepakat untuk membatalkan perjanjian. Untuk lebih baiknya, juga disepakati tata cara penyelesaian atas hal-hal yang sudah terlaksana berdasarkan perjanjian tersebut.
b. Mengajukan gugatan ke pengadilan
Untuk pembatalan ini, saya rasa lebih tepat digunakan pada saat tidak terpenuhi syarat yang pertama. Misalkan dapat dibuktikan telah terjadi penipuan, maka bukti-bukti tersebut menjadi dasar untuk mengajukan gugatan.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa dampaknya sekedar dapat dibatalkan? Karena syarat subyektif ini berkaitan dengan tindakan subyek hukum. Misalkan, diketahui bahwa salah satu pihak tidak cakap, namun para pihak secara diam-diam tetap melaksanakan. Artinya, Para Pihak secara diam-diam menyepakati untuk mengabaikan hal itu. Tentu saja, perjanjian tersebut tetap dapat dijalankan hingga selesai.
Pemulihan
Tentu saja sangat mungkin para pihak menyepakati untuk membatalkan perjanjian pada saat sudah ada hak dan kewajiban yang dilaksanakan. Terhadap hal ini, para pihak yang merasa dirugikan memiliki hak untuk menuntut suatu ganti rugi.
2. Syarat Obyektif Perjanjian
Syarat obyektif merupakan syarat sah-nya suatu perjanjian yang berhubungan dengan obyek yang diperjanjiankan, diantaranya:
- Suatu persoalan tertentu; dan
- Suatu sebab yang tidak dilarang.
Dampak apabila syarat obyekrif tidak terpenuhi adalah, perjanjian tersebut dinyatakan “Batal Demi Hukum“. Artinya, perjanjian tersebut sejak semula dinyatakan tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi.
Pemulihan
Karena ketika terjadi batal demi hukum, suatu perikatan dianggap tidak pernah ada, maka tidak ada hak dan kewajiban juga yang seharusnya terjadi. Oleh karenanya, para pihak harus mengembalikan segala sesuatu ke seperti semula. Ini memang tidak mudah, namun inilah konsekuensinya. Sebagian besar perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif terjadi karen adanya tindakan melawan hukum. Sehingga, pelaksanaannya akan disesuaikan dengan putusan pengadilan.
Demikian adalah syarat sah suatu perjanjian dan dampaknya terhadap pelaksanaan perjajian. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.